Selasa, 08 Januari 2008

Quo Vadis Kurikulum Pendidikan Kita (Sebuah Refleksi Akhir Tahun)

Dalam tulisan saya mengenai “Tiga Bahasa Plesetan tentang KTSP“, saya memplesetkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi: (1) Kurikulum Tidak Siap Pakai, (2) Kurikulum Tetap Sama Produknya, dan (3) Kalau Tidak Siap Pensiun. Namanya saja plesetan, selain “nyleneh” juga bernada slengekan, hehehehe Agaknya, ada seorang pengunjung yang terusik. Dia berkomentar:

pak jgn buat plesetan yg tdk mendidik, maka dukunglah tetang KTSP tersebut ok makasih ya.

Saya sangat menghargai komentar pengunjung tersebut. Ini artinya, kurikulum pendidikan kita masih mendapatkan sentuhan perhatian yang cukup dari publik. Lalu, saya meresponnya dengan pernyataan bahwa saya hanya merekam dan memberikan kesaksian terhadap apa yang saya lihat dan saya dengar. Namanya juga otokritik. Dunia pendidikan kita harus selalu siap untuk menerima kritik dari berbagai kalangan agar terus berkembang secara dinamis sehingga mutu pendidikan yang sudah lama didambakan dapat terwujud.


Sebagai seorang guru, jelas saya mendukung KTSP, apalagi sudah disahkan penggunaannya di sekolah berdasarkan Permendiknas No. 22, 23, dan 24 tahun 2006. Ini artinya, mau atau tidak, siap atau tidak, guru sebagai “loko” pendidikan, harus melaksanakannya. Meskipun demikian, tidak lantas berarti bahwa guru tidak boleh bersuara. Gurulah yang menyusun rencana, melakukan aksi, evaluasi, analisis, dan tindak lanjut sebagai wujud implementasi kurikulum. Kalau suara guru dibungkam, lantas siapa yang akan memberikan masukan dan kritik terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Guru itu bukan penentu kebijakan. Mereka seperti “tukang” yang harus membuat produk yang diinginkan oleh pemesan. Apakah seorang tukang tidak boleh memberikan masukan dan kritik terhadap desain sebuah produk yang diinginkan oleh pemesan kalau memang dinilai kurang bagus? Cukupkah sebuah kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, bahkan akan ikut menentukan nasib masa depan bangsa, hanya dirumuskan dari belakang meja sonder mendengarkan suara-suara lain yang justru sangat berkepentingan dengan implementasi sebuah kebijakan?

Selain sertifikasi guru, KTSP agaknya juga menjadi “isu” yang menarik diperbincangkan di sepanjang tahun 2007. Gaungnya tidak hanya bergema di gedung-gedung elit kaum birokrat pendidikan atau di forum-forum seminar, tetapi juga di warung-warung kopi. Hal ini bisa dipahami lantaran bangsa kita dikenal suka bongkar-pasang kurikulum, tetapi dinilai belum memberikan imbas yang cukup berarti bagi peningkatan mutu pendidikan. Dari tahun ke tahun, dunia pendidikan kita dinilai banyak kalangan hanya “jalan di tempat”, bahkan mengalami set-back.

Berdasarkan laporan UNESCO, yang dirilis Kamis (29/11/07), peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Education Development Index (EDI) Indonesia hanya 0.935 yang berada di bawah negeri jiran kita Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). Indeks ini perlu menjadi “warning” bagi segenap komponen bangsa untuk bersama-sama melakukan sebuah perubahan secara kolektif. Jangan sampai negeri lain sudah melaju kencang di atas tol, tetapi bangsa kita masih terus bersikutat di balik semak-semak.

Sekarang, kita mencoba kembali melakukan kilas balik terhadap perubahan kurikulum di negeri ini. Setidaknya sudah tujuh kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni Kurikulum 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, KBK, dan KTSP. Namun, apa dampaknya terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial?

Yang lebih menyedihkan, tidak sedikit anak bangsa negeri ini yang menjadi objek sentimen nasionalisme bangsa lain. Saudara-saudara kita yang mengadu nasib di negeri orang tak jarang menerima perlakuan-perlakuan yang kurang manusiawi. Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa “kuli”. Pertanyaan yang muncul, sudah demikian parahkah dunia pendidikan kita sehingga gagal melahirkan tenaga-tenaga ahli dan sosok pekerja yang terampil dan andal? Ada apa dengan kurikulum pendidikan kita sehingga (nyaris) tak pernah berhasil mengangkat nama dan martabat bangsa ini menjadi begitu terhormat di tengah-tengah kancah peradaban global? Quo vadis kurikulum pendidikan kita kalau gagal melahirkan manusia-manusia berkarakter, cerdas, kreatif, terampil, bermoral, berbudaya, dan luhur budi? Bukankah dunia pendidikan kita sudah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum?



Kini, pertanyaan itu menjadi penting untuk dijawab setelah KTSP mulai diimplementasikan. Mampukah KTSP mengantisipasi perubahan dan gerak dinamika zaman ketika semua negara di dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global? Mampukah KTSP mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas?

Mari kita bicara blak-blakan sebagai refleksi akhir tahun. Secara jujur harus diakui, implementasi KTSP masih jauh dari harapan. Kesenjangan informasi antardaerah, keragaman kompetensi guru, atau sarana-prasarana sekolah menjadi “cacat” utama. Ketika “lonceng” KTSP dipukul, idealnya semua “properti” dan sumber daya manusia-nya sudah dalam kondisi siap. Sosialisasi harus lebih dini dilakukan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Meski sudah diluncurkan oleh Menteri, masih banyak sekolah, lebih-lebih yang ada di daerah, yang masih simpang-siur dalam memahami KTSP. KTSP yang seharusnya berlangsung mulus seiring dengan kebijakan otonomi sekolah agaknya juga stagnan.

Untuk menyusun silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) saja mesti mengacu pada produk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Memang seharusnya hanya sekadar menjadi model. Namun, tampaknya silabus model BSNP telah menjadi acuan baku untuk dilaksanakan di seluruh penjuru tanah air. Akibatnya, KTSP yang seharusnya berbeda di setiap daerah, bahkan di setiap sekolah, yang terjadi justru telah terjadi penyeragaman. Budaya kopi-paste berlangsung sukses. Flash-disk pun laris-manis bak pisang goreng. KTSP pun menjadi Kurikulum yang Tetap Sama Produk-nya.

Tahun 2008 hanya tinggal hitungan hari, bahkan jam. Momen tersebut perlu dijadikan sebagai tonggak untuk melakukan sebuah perubahan. Implementasi kurikulum dalam dunia pendidikan kita harus dibarengi perubahan sistem pembelajaran dengan memberikan ruang gerak kepada siswa didik untuk mengembangkan potensi dirinya. Anak-anak negeri ini perlu memiliki basis kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang andal agar tidak sekadar menjadi “kacung” dan “tukang”, tetapi juga menjadi enterprenur-enterprenur sejati yang siap menghadapi tantangan di tengah peradaban global. Jangan sampai terjadi, secara lahiriah kurikulum kita menggunakan “branding” kurikulum baru, tetapi sejatinya masih menggunakan “roh” kurikulum yang lama.

Kita berharap, implementasi kurikulum tidak lagi terjebak ke dalam praktik semu di mana perubahan kurikulum hanya sekadar jadi momentum “adu konsep”, sedangkan dimensi proses dan hasil-hasilnya sama sekali tak terurus. Jangan sampai terjadi, dunia persekolahan kita hanya menjadi ladang “kelinci percobaan” yang pada akhirnya hanya akan melahirkan generasi-generasi “setengah jadi” yang gagap menyelesaikan persoalan-persoalan riil yang sedang dihadapinya.

Yang tidak kalah penting, implementasi kurikulum harus diimbangi dengan intensifnya peran pendidikan dalam lingkungan keluarga. Berbagai kajian empiris membuktikan bahwa peranan keluarga dan orang tua memiliki pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar anak. Hal ini penting dikemukakan, sebab globalisasi, disadari atau tidak, telah membawa perubahan dan pergeseran gaya hidup dalam lingkungan keluarga. Kuatnya gerusan gaya hidup konsumtif, materialistis, dan hedonis ke dalam ruang keluarga seringkali menimbulkan dampak memudarnya komunikasi antaranggota keluarga. Orang tua sibuk di luar rumah, sedangkan anak-anak yang luput mendapatkan perhatian dan kasih sayang seringkali menghabiskan waktunya dengan cara yang sesuai dengan naluri agresivitas mereka sendiri.

Dalam upaya menghadapi “penjajahan” kultur yang dominan sebagai imbas globalisasi, keluarga harus menjadi “barikade” yang mampu menciptakan “imunisasi” terhadap anasir-anasir negatif. Anak-anak tetap berperan aktif dalam lingkungan global, tetapi pendidikan dalam keluarga memberinya kekebalan terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari globalisasi. Dengan kata lain, dari ranah keluarga anak-anak bangsa negeri ini perlu diarahkan secara optimal untuk meraih manfaat dan nilai positif dari segala macam bentuk pengaruh globalisasi yang demikian liar membombardir keutuhan keluarga.

Sudah terlalu lama bangsa kita merindukan lahirnya generasi bangsa yang “utuh dan paripurna”; berimtak tinggi, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hanya potret generasi semacam ini yang akan mampu membawa bangsa ini menjadi terhormat dan bermartabat sekaligus sanggup bersaing di tengah kancah peradaban global yang demikian kompetitif. Nah, apakah perubahan kurikulum mampu menjadi momentum bangkitnya kemajuan dunia pendidikan dan peradaban bangsa kita? Agaknya, kita harus sabar menunggu, yak!

Tidak ada komentar: